Bitter Melon
Tumis pare adalah salah satu menu sayuran yang tetap exist meskipun teknologi operasi seluler sudah jadi 5G mungkin berikutnya muncul 6G, 7G dan seterusnya.
Ah sayang sekali, kaum yang lahir di era 3G ke atas masih enggaa merasai menu ini. Kebanyakan memilih menu yang kandungan gulanya tinggi.
Rasa pare memang pahit, yang disebabkan oleh kandungan zat quinine yang tinggi. Tapi, tahukah wahai anak muda dibalik rasa pahitnya tersimpan manfaat yang luar biasa. Zat quinine dapat berfungsi sebagai anti piretik (obat panas) dan juga anti analgesik (anti nyeri). Masih banyak lagi kandungan nutrisi sehat lainnya yang terdapat pada buah pare.
Dulu, jaman saya masih sekolah di SMP, ibu sering masak pare jadi menu yang bernama "kambu paria" untuk ayah. "Kambu Paria" adalah salah satu jenis menu di daerah Bugis. Cara membuatnya agat ribet menurut saya. Caranya: pare dibelah kemudian buang bijinya. Lalu mengisi pare dengan isian berupa campuran sangrai kelapa parut, udang atau lainnya ditambah bumbu. Setelah terisi, belahan pare tadi disatukan kembali dengan cara diikat. Terakhir pare yang sudah terisi dimasak dengan santan encer dan bumbu. Menu ini adalah kesukaan ayah, saya dan adik geleng kepala setiap ditawari ibu untuk memakannya. Ayah turut mencoba bujuk kami agar mau makan sayur pare dengan mengatakan "sayur ini bisa menghilangkan bau badan loh!".
Yah, kami tetap belum mau mencobanya. Alasannya pahit!
Pertama kali saya mau makan menu dari pare saat duduk di bangku SMA. Alasannya tidak ada sih yang spesial. Tapi saya selau ingat apa yang dikatakan ayah saat membujuk kami agar mau makan sayur pare.
Lain cerita ketika saya sudah berumah tangga. Tumis pare adalah salah satu menu kesukaan saya dan suami. Saya paling senang melihat beliau lahap makan ketika ada menu ini. Namun anak-anak tidak ada yang berminat sedikit pun. Jadi tetap masak menu sayuran lain yang anak-anak suka seperti sup. Sampai saat ini mereka masih pilih-pilih makanan, apalagi sayur. Kadang hanya mengambil kuah sayur saja. Anehnya ketiga anak punya alasan sama mengapa tidak suka makan sayur. Kata mereka "rasanya aneh ada pahit-pahit gitu!". Padahal kami sudah mencontohkan agat makan sehat, seperti makan sayuran apa saja.
Ketika mereka bayi, dalam menu makannya juga selalu saya tambahkan sayuran. Kalau secara teori seharusnya lidah mereka sudah terbiasa dengan rasa sayur.
Kemungkinan makanan kekinian seperti junk food sudah terlanjur menggeser cita rasa makanan lokal yang jauh lebih sehat.
Hal ini PR banget bagi kami, untuk tetap mengedukasi mereka agar menerapkan ilmu tentang pangan yang didapatkan di sekolah dalam kehidupan nyata.
****
Komentar
Posting Komentar