Minggu, 05 Januari 2025

Selalu Ada Jalan

Di sebuah bangku taman, Alan dan Hana terlibat dalam pembicaraan serius. Mereka adalah sepasang kekasih yang berniat melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan setelah saling mengenal selama satu tahun. Saat itu Alan telah bekerja di sebuah Perusahaan BUMN sementara Hana bekerja di sebuah Perusahaan Swasta Asing (pangan) di kotanya.

Alan : “Hana….!”

Hana : “Yah, ada apa?”

Alan : “Kalau kita nikah nanti, kamu bersedia berhenti kerja?”

Saat itu Hana diam. Ia sedang memikirkan suasana di tempat kerjanya. Semenjak pergantian atasannya, ia merasa suasana kerja tidak senyaman dan semenarik seperti dulu dengan atasan yang lama. Lalu….

Hana : “Oke, aku bersedia!”

Hana memberi jawaban singkat tanpa mengajukan syarat atau pertanyaan sedikit pun. Tentu Alan sangat senang mendengar jawaban Hana. Kemudian mereka larut dalam pembicaraan tentang keluarga masing-masing hingga saatnya harus pulang. Alan mengantar Hana terlebih dahulu baru ia kembali ke rumah kakaknya. Kebetulan kantor Alan berada di kota yang berbeda. Ketika akhir pekan saja Alan berkunjung ke rumah kakaknya sekaligus mengunjungi Hana.

Kurang lebih 2 tahun masa perkenalan berlangsung, akhirnya Hana dan Alan menikah.  Pada mulanya mereka ingin tinggal di sebuah rumah kontrakan, namun ibu Alan menyarankan untuk tinggal sementara di rumah kakak ipar (kakaknya Alan). Saat itu kondisi kakak ipar dalam keadaan hamil trimester 2. Beliau sangat baik dan ramah kepada Hana. Satu bulan kemudian Hana dan Alan putuskan membeli sebuah rumah yang letaknya tidak jauh dari rumah kakak ipar. Rumah itu masih dalam proses pembangunan yang akan memakan waktu kurang lebih 1 tahun hingga siap huni.

Tak lama dari itu, Hana positif hamil anak pertama. Betapa senang Alan mengetahui hal ini, begitu pun keluarga lainnya. Beberapa bulan berikutnya, Alan mendapat SK mutasi ke kota yang sama dengan Hana. Akhirnya mereka tidak lagi LDM (Long Distance Marriage). Hana masih bekerja sebagai staf Engineering di Perusahaan yang sama sebelum ia nikah.

Menjadi pasangan pengantin baru yang menumpang di rumah keluarga suami tak pernah ada masalah. Kakak ipar dan suaminya sangat baik. Mereka memperlakukan Hana seperti keluarga sendiri. Hanya saja Hana sedikit syok karena tiba-tiba harus hidup dengan keluarga sang suami. Hana berusaha beradaptasi dengan suasana baru itu. Dulu saat masih lajang Hana bisa saja tidur semaunya setelah salat Shubuh ketika libur kerja. Namun sekarang ia harus memaksa dirinya menjadi sosok istri yang tahu diri sedang tinggal dimana. Hana juga berusaha belajar masak dan memahami jenis menu kesukaan keluarga Alan. Yaaah kadang timbul perasaan “duuuh tidak bebas lagi”, namun itu adalah salah satu konsekuensi dari keputusan menikah yang Hana harus jalani.

Kehamilan Hana anak pertama menjadi pengalaman baru baginya. Bersyukur ia tidak mengalami hyperemesis, hanya saja nafsu makan Hana sangat bermasalah. Dikiranya hanya akan berlangsung pada trimester awal saja, ternyata hal itu berlangsung selama kehamilannya. Meskipun demikian Hana tetap masuk kerja seperti biasa. Alan juga menjalani rutinitas pekerjaannya seperti biasa. Hana baru tahu seperti apa pekerjaan suaminya, seorang Pejuang Terang. Saat itu Alan menduduki posisi sebagai supervisor. Sebuah alat komunikasi pada masa itu “Handy Talky” tak pernah jauh dari Alan. Hana sering melihat Alan menggunakan alat tersebut terutama ketika mengontrol pekerjaan staf di lapangan atau sedang monitoring jika terjadi gangguan di saluran penghantar listrik maupun di instalasi lainnya. Hana kadang ikut terbangun malam karena mendengar suara panggilan via alat tersebut. Hal ini  terjadi hampir setiap hari tanpa kenal waktu. Sejujurnya suara tengah malam dari alat itu cukup mengganggu tidurnya. Namun Hana harus terbiasa dengan hal itu.

Singkat cerita, Hana melahirkan anak pertama seorang putri cantik yang diberi nama Asha. Benar-benar sebuah pengalaman baru. Sebanyak berapa pun buku yang sudah dibacanya tentang persalinan dan merawat bayi baru lahir, ternyata dalam praktik tidak semudah yang dituliskan dalam buku itu. Mulai bagaimana cara memandikan, menyusui dituntut kesabaran, kesiapan gizi dan mental sang ibu. Hana menjalani masa-masa itu didukung oleh keluarga terutama kedua orang terkasih : mama dan mama mertua. Sementara Alan, waktunya benar-benar lebih banyak tercurah untuk pekerjaan yang tak bisa terhindarkan. Hana menyadari bahwa suaminya sebagai pejuang terang adalah petugas pelayan publik. Maka cara terbaik mendukung suaminya adalah tidak menuntut banyak akan kehadiran Alan untuk menemaninya setiap saat. Pada saat orang lain libur merayakan hari besar  justru para pejuang ini harus standby bekerja, memastikan keandalan pasokan dan layanan Listrik. Bahkan tidak bebas mengambil jatah cuti semaunya. Hana harus berbesar hati menjalani keadaan ini.

Alhamdulillah rumah Alan dan Hana sudah selesai dibangun dan siap huni. Mereka pun pindah ke rumah barunya. Semua turut senang dengan rezeki yang diberikan Allah SWT, kehadiran putri kecil yang cantik lalu rumah juga selesai dibangun. Hana tak lupa menyampaikan rasa terima kasih kepada keluarga kakak ipar karena sudah berkenan memberi tumpangan selama kurang lebih 1 tahun. Hana banyak melihat dan mendapat pengalaman bagaimana kakak ipar mengelola keluarganya sehingga tetap harmonis. Hana juga mendapat banyak referensi menu masakan yang sesuai selera suaminya yang tidak didapatkannya dari mama Hana sendiri. So punya stok referensi menu bertambah.

Merajut pengalaman baru sebagai keluarga muda yang pertama kali menempati rumah sendiri. Rasanya “Oh beginikah rasanya menikah, punya anak lalu punya rumah?”. Hana terharu bahagia dan bersyukur atas karunia yang didapatkannya. Tepat hari ketiga tinggal di rumah baru, saat tengah malam tiba-tiba si kecil Asha demam tinggi. Mereka tidak memiliki persiapan obat demam untuk bayi. Mereka juga tidak paham, dipikir bahwa bayi masih merah  seperti Asha belum boleh diberi obat kimia selain minum ASI saja. Demam Asha masih berlanjut, akhirnya keesokan hari dibawa ke rumah sakit terdekat. Setelah melakukan pendaftaran di Poli Anak, mereka menunggu giliran. Mereka juga membuat janji dengan seorang Dokter Spesialis Anak (DSA). Merasa penanganan akan lebih bagus jika dengan DSA, akhirnya mereka membatalkan berobat yang di Poli Anak.

Saat menanti kedatangan DSA yang tak kunjung terlihat, tiba-tiba Asha kecil menunjukkan tanda yang tak biasa. Kedua bola mata bergerak ke arah tengah batang hidung. Suami Hana langsung panik, lalu meraih Asha dari gendongan Hana melarikannya ke UGD (Unit Gawat Darurat). Hana hanya mengikuti dari belakang dengan pikiran kosong karena tidak paham apa yang sedang terjadi. Alan memohon pada dokter jaga agar segera tangani Asha dan menelpon DSA. Tak lama DSA yang dinantikan sejak pagi baru muncul menjelang waktu dzuhur. Hana melihat DSA itu meraba bagian ubun-ubun Asha yang terlihat mencekung. Dokter tersebut segera memerintahkan pasang selang oksigen melalui hidung dan cairan infus ke tangan Asha. Terlihat wajah Alan sangat cemas campur sedih, sementara Hana tatapannya kosong dalam pikirannya masih mempertanyakan “apa yang terjadi? Mengapa seperti ini?” Hana bingung tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Baru saja ia susui anaknya, mandikan dan tenangkan karena sering menangis, tiba-tiba terjadi hal demikian. Hana lebih sering terpaku, mengikuti langkah Alan saja tanpa banyak bicara. Akhirnya Asha dipindahkan ke ruang rawat karena ruang UGD harus segera disterilkan setelah pihak RS mendapat kabar bahwa telah terjadi kecelakan pesawat terbang yang berlokasi di perairan di kota itu.

Asha sudah mendapat penangan dan perawatan di ruang rawat inap. Saya juga sudah bisa menyusuinya Kembali. Namun anehnya Asha kecil belum pernah buka mata atau pun menangis. Ia menyusu sambil tutup mata. Kemudian dokter menyampaikan saran, untuk mengetahui penyakit Asha rencana akan melakukan tindakan pengambilan cairan tulang sumsum belakang. Rencananya dilakukan esok hari. Belum terlaksana rencana tersebut, setelah waktu Isya, bayi cantik mungil itu berpulang ke pemiliknya. Rasa sedih yang tak terkira menyeruak di relung hati Hana dan Alan. Air mata tumpah diiringi doa terbaik agar baby Asha menjadi bidadari surga di alam sana. Alan terlihat sangat terpukul dengan peristiwa ini. Masa awal melahirkan hingga Asha sakit, ia lebih sering berada di lapangan karena keadaan sistem Listrik saat itu. Hana lebih banyak ditemani oleh mama dan ibu mertua secara bergantian. Hana sangat paham melihat kesedihan suaminya itu. Bagi mereka kepergian putrinya begitu cepat. Belum sempat Hana benar-benar menikmati nikmatnya bonding saat menyusui, karena pada masa itu Hana masih dalam proses adaptasi sebagai ibu baru. Sesedih bagaimanapun harus tabah dan ikhlas. Ini sudah takdir dari Tuhan. Hana dan Alan berharap akan diberikan pengganti yang lebih baik lagi.

Hari demi hari berlalu, Hana memutuskan segera kembali masuk kerja setelah cuti melahirkan. Tak lama kemudian Alan kembali menerima  SK Mutasi ke Sumatera Barat, Kota Padang. Rasanya kepindahan Alan begitu cepat. Belum cukup sebulan menempati rumah baru dan kepergian putrinya, suami Hana sudah harus pindah lagi ke tempat kerja yang baru. Hana sedikit merasa cemas karena lokasi yang dituju suami sering terjadi gempa bumi. Namun tak ada pilihan selain mengikut sesuai keputusan dari kedinasan suami. Akhirnya mereka kembali menjalin hubungan secara LDM. Suka duka menjalani hidup seperti ini menjadi tantangan baru. Alan harus menempuh perjalanan dua kali naik pesawat untuk bisa bertemu dengan Hana. Biaya tiket pesawat saat itu cukup mahal. Tentunya ini berdampak bagi keuangan mereka yang sedang berusaha menyelesaikan pembayaran rumah baru. Akhirnya mereka sepakat bisa bertemu pas ada perjalanan dinas. Dalam kondisi demikian Hana mengingat permintaan Alan saat sebelum menikah, yang meminta Hana bersedia berhenti kerja kantoran. Tidak mengulur waktu lama lagi, Hana pun mengajukan surat pengunduran dirinya dengan alasan mengikuti suami yang pindah tempat kerja. Pada dasarnya Hana sangat menyukai jenis pekerjaannya, karena masih terkait dengan latar belakang pendidikan Hana yakni lulusan Fakultas Teknis Jurusan Elektro. Jurusan yang sama dengan suaminya Alan hanya berbeda tahun masuk saja.

Alan memboyong Hana terbang ke kota Padang-Sumbar. Sejak saat itu Hana mulai berstatus Full Time Wife. Impian terdekat mereka adalah segera dikaruniai anak kembali. Gayun bersambut 3 bulan kemudian Hana positif hamil. Betapa senang Alan mengetahui kabar ini. Hana berusaha menjaga nutrisi yang masuk kedalam tubuhnya. Peristiwa yang dialami oleh putri pertamanya menjadi pelajaran baginya untuk lebih prepare lagi. Hana membaca banyak buku referensi tentang kehamilan, perawatan bayi dan ibu pasca melahirkan, bagaimana jika bayi sakit dan seterusnya.

Karena alasan sering gempa di Sumbar, Hana dan Alan memutuskan akan melahirkan di kota kelahirannya. Hana pun terbang pulang untuk persiapan lahiran. Pada saat muncul tanda akan melahirkan barulah Alan mengambil cuti dan terbang pulang mendampingi Hana. Seperti persalinan normal pada umumnya Hana melahirkan putra kedua yang sangat menggemaskan. Mereka beri nama baby F. Pasca melahirkan Hana merasa menjadi pencemas. Ia sering dihantui perasaan takut jika peristiwa anak pertamanya terjadi pada baby F. Baby F berusia 6 bulan barulah diboyong ke Padang. Hana melalui hari-harinya merawat baby F dengan ekstra hati-hati, sementara urusan rumah dibantu oleh seorang art harian.

Tepat baby F usia 15 bulan Hana kembali positif hamil. Hana melewati kehamilan kali ini tidak banyak masalah. Mungkin karena sudah punya pengalaman dengan kehamilan anak-anak sebelumnya. Saat kehamilan Hana berusia 3 bulan, selepas waktu Ashar tiba-tiba terjadi gempa besar. Hal pertama yang Hana lakukan saat itu adalah berlari secepat mungkin keluar dari rumah sambil menggendong baby F. Kebetulan Hana ditemani seorang art yang ikut menyusulnya lari keluar rumah. Mereka ikut berkumpul di depan rumah seorang tetangga yang memiliki beberapa lantai. Hal ini Hana putuskan untuk jaga-jaga jikalau terjadi tsunami, bisa langsung evakuasi ke rumah tersebut. Rumah kontrakan Hana saat itu sangat dekat dari Pantai. Warga lokal yang tinggal di sekitar Pantai berhamburan keluar. Mereka turut berkumpul di tempat Hana berada. Terlihat banyak diantaranya yang bertangisan karena cemas, takut jikalau terjadi tsunami seperti peristiwa gempa megathrust di Aceh. Hana melihat air di selokan meluap, membuatnya bertambah cemas apalagi dirinya dalam keadaan hamil muda. Ia memeluk erat baby F yang belum mengerti apa yang sedang terjadi. Selain mencemaskan dirinya, Hana juga terlihat gusar memikirkan bagaimana caranya agar bisa bertemu Alan segera. Saat ini akses dari kantor Alan ke rumah pasti macet berat. Jaringan komunikasi juga shutdown kecuali operator yang menggunakan teknologi fiber optic. Kebetulan Hana menggunakan 2 ponsel berbeda operator, salah satu operator masih bisa digunakan. Melalui saluran inilah Hana mendapat kabar dari teman bahwa gempa yang terjadi itu adalah gempa darat yang tidak berpotensi tsunami. Alhamdulillah ucap Hana, kecemasannya sedikit berkurang dan tidak perlu ikut berdesakan mencari tempat yang tinggi. Jelang waktu Isya Hana baru bertemu dengan suaminya di area terbuka. Alan bercerita ketika di perjalanan pulang tadi ia melihat gedung show room mobil dan tempat les ambruk rata dengan tanah. Mendengar cerita Alan, Hana sudah membayangkan kemungkinan besar banyak yang jatuh korban, tak terkira suasana genting di luar sana terutama di RS-RS dan Gedung-gedung tinggi lainnya. Malam itu mereka berkumpul dengan teman sejawat lainnya bermalam di salah satu rumah teman yang kondisinya lebih aman jika terjadi gempa susulan. Esok hari mereka mengungsi ke rumah salah satu teman sejawat juga karena berada di lokasi tempat evakuasi warga jika terjadi gempa. Sekaligus menjadikan rumah tersebut sebagai posko sementara. Mereka ada 3 keluarga yang berkumpul, termasuk pemilik rumah. Untuk kebutuhan penerangan menggunakan genset karena jaringan listrik padam total. Mereka mengumpulkan dana bersama untuk membeli bahan bakar genset dan juga bahan dapur untuk makan bersama. Para suami sudah mulai bekerja, untuk pengerjaan recovery sistem di berbagai area instalasi. Tentu hal ini bukan pekerjaan yang ringan dan singkat dengan melihat tingkat kerusakan infrastruktur yang terjadi. Tugas ibu-ibu memastikan persediaan konsumsi bapak-bapak tetap ada sehingga mereka cukup fokus pada pekerjaannya. Kerjasama ini sangat berarti terutama dalam situasi darurat seperti saat itu.  Butuh waktu recovery beberapa pekan, bulan agar listrik kembali menyala tapi pasti secara bertahap, terutama di beberapa daerah yang terdampak gempa. Kejadian gempa kali ini menjadi alasan bagi Hana dan Alan jika nanti kondisi sudah normal mereka memutuskan pindah rumah kontrakan ke tempat yang lebih tinggi tapi tidak jauh dari kantor Alan.

Ancaman gempa tak bisa hilang dari benak Hana. Semenjak peristiwa tersebut ia dan Alan tidak berani berlama-lama berada di gedung tinggi seperti mall atau tempat lainnya. Hana lebih memilih belanja atau membawa bermain baby F ke tempat yang lebih aman. Beberapa bulan berikutnya Hana melahirkan adik baby F melalui operasi Caesar. Ia diberi nama baby Z. Alhamdulillah semua dalam keadaan sehat. Mama Hana dan tante datang menemani hingga beberapa bulan. Kesibukan Alan juga semakin bertambah semenjak ia mendapat promosi terlebih lagi kantor Alan yang sekarang menangani pekerjaan operasional. Tak jarang Alan harus dinas ke luar kota hingga beberapa hari. Agenda rapat juga semakin sering. Rutinitas ini menjadi tantangan bagi Hana bagaimana mendampingi anak-anaknya tanpa berharap banyak kehadiran Alan secara fisik. Mama dan tante sudah harus pulang, Hana ditemani seorang art. Sejak Baby F lahir, meskipun ada yang menemani, untuk mengganti popok, menidurkan dan lainnya Hana lakukan sendiri, kecuali ia sedang tidak sehat barulah meminta bantuan. Hana sudah terbiasa dengan ritme tidur malam yang singkat. Yang terpenting baginya ada yang mengerjakan pekerjaan domestik. Art adalah support system paling penting bagi Hana. Beberapa kali Hana terpaksa ganti art, bukan karena diberhentikan melainkan si art jikalau sudah pulang kampung saat libur hari raya pada umumnya tidak balik lagi dengan berbagai alasan. Merawat anak kecil tanpa bantuan art dengan ritme pekerjaan suami yang tidak menentu menjadi battle tersendiri bagi Hana. Ditambah ketika baby Z genap berusia 15 bulan, Hana kembali positif hamil. Hana masih takut menggunakan alat kontrasepsi. Dalam kondisi tersebut ia dan Alan berusaha menemukan art yang dapat meringankan pekerjaan domestik. Hana bisa lebih fokus merawat dan mendidik anak-anaknya sambil menjalani kehamilannya yang ke empat. Meskipun Alan cukup sibuk dengan pekerjaan kantornya, ia menyempatkan diri bermain dengan si kecil terutama saat wiken. Waktu kehadirannya pasti terbatas, hal ini memaksa Hana untuk mengambil peran lebih banyak untuk masalah anak-anak. Ia tidak banyak melakukan aktifitas di luar rumah. Beberapa bulan berlalu anak keempatnya lahir yang diberi nama baby Y, seorang putri mungil. Saat ini ia ditemani 3 anak kecil. Putri sulungnya sudah menjadi bidadari surga insyaa Allah.

Beberapa bulan setelah kelahiran baby Y, Hana dan Alan pindah kontrakan lagi karena rumah yang ditempati ingin dijual oleh pemiliknya. Urusan pindah kontrakan juga bukan perkara ringan. Bersyukur mereka banyak mendapat bantuan tenaga oleh petugas Cleaning Service (CS) dari kantor. Biasanya Hana mengurus barang-barang ringan seperti pakaian, peralatan dapur, selebihnya ditangani oleh Alan dan CS. Akhirnya mereka sudah menempati rumah kontrakan baru. Letaknya cukup dekat dari kantor Alan. Tak lama kemudian Alan mendapat SK Promosi Jabatan menjadi manager di kantor tersebut, artinya tanggung jawab Alan semakin besar dibanding dengan sebelumnya. Sesuai aturan di Perusahaan tersebut istri manajer dalam hal ini Hana secara otomatis menjadi ketua Organisasi Perempuan (PIKK) di kantor tersebut. Peran baru ini menuntut Hana memikirkan bagaimana cara menyelaraskan urusan anak-anak dan komunitas. Pada awal menjabat, Hana mencoba beradaptasi agar aktifitas di PIKK tetap selaras dengan perannya sebagai ibu maupun istri. Tidak berat baginya namun berbeda saja bila dibandingkan ketika Hana masih bergabung dengan Corps Asisten Lab saat kuliah dan ketika ia masih bekerja. Memimpin Ibu-ibu ternyata memiliki tantangan dan kondisi tersendiri. Namun, bagi Hana karena ia juga seorang ibu, maka ia mampu memahami masalah utama apa yang dihadapi oleh seorang ibu. Menyelesaikan tantangannya sebagai diri pribadi, sebagai ibu dan juga istri adalah menjadi bagian referensi bagaimana Hana mengelola PIKK kemudian. Mengajak para ibu untuk tetap berdaya dan tangguh, karena menjadi madrasah utama dan pertama bagi keluarga, bukanlah hal instan. Membutuhkan kesadaran diri untuk terus berkembang agar menjadi fasilitator keluarga yang adaptif dengan perubahan zaman. Selama menjalankan peran sebagai ketua PIKK, Hana berkomitmen menjaga nama baik dan mendukung karir suami. Hana tak jarang melibatkan Alan melalui diskusi terkait strategi pengelolaan PIKK. Hana sadar sebagai istri pejuang terang dituntut mengambil peran paling banyak di rumah, karena untuk mengganti ketidakhadiran langsung para suami yang disebabkan oleh beban kerja yang tidak menentu. Semangat para Ibu, kamu pasti selalu memiliki cara untuk mengatasinya, Insyaa Allah.

Aku Sebelum Bersamamu (Wedding Anniversary ke 19) #1

08 Januari 2025, Rabu kemarin menjadi momen special bagi kita. Hari itu adalah tepatnya hari ke 6939, 21 jam aku dan kamu sah bersama. Mendu...