Program KB saya jalani selama 5 (lima) tahun. Nah berjalan di tahun kelima ini muncul gejala tidak nyaman pada area reproduksi sebagai efek penggunaan alat KB tersebut. Akhirnya saya sepakat dengan suami memutuskan tidak lagi menggunakan alat KB melainkan memilih program KB dengan cara alami. Hal ini juga didukung oleh kondisi dan siklus menstruasi saya yang teratur. Kami menyadari bahwa program KB alami yang kami tempuh memiliki peluang gagal dengan kata lain kemungkinan besar tetap bisa hamil. Resiko ini sudah kami pertimbangkan dan harus siap dengan konsekuensinya yaitu harus siap jikalau ALLAH mengamanahkan lagi hadirnya anak.
Alhamdulillah cara alami yang kami tempuh berjalan efektif selama kurang lebih 4 (empat) tahun. Tepat beberapa pekan berlangsungnya wabah Covid yakni sekitar bulan Mei 2020, saya iseng saja melakukan tes kehamilan menjelang shalat Subuh. Sebelumnya secara fisik saya merasa kurang nyaman tidak seperti biasanya. Setelah tes, ternyata alat tersebut menunjukan hasil positif. Dalam hati saya yakin, “sudah hamil nih!”. Saya terduduk di kursi ruang tamu, lalu menunjukkan hasil alat tes tersebut ke suami dengan wajah syok karena tidak menyangka, kok KB alami sudah berjalan 4 (empat) tahun kenapa kali ini gagal? Mungkin suami juga memiliki perasaan yang sama, tapi beliau lebih realistis. Beliau menyemangati saya dan mengatakan “yaaah konsekwensi ini harus kita terima dengan ikhlas dan sambut bahagia. Bisa jadi ini tanda bahwa Allah menilai kita mampu menambah anak yang kelak menjadi umatNya yang bermanfaat, aamiin!”. Saya setuju dengan pernyataan suami. Pilihannya saya berusaha menghadirkan perasaan dan pikiran positif. Membuang jauh-jauh pikiran negatif seperti perasaan menolak karena tidak ingin memberi dampak kurang baik pada perkembangan anak kami nantinya. Yang menjadi fokus kami adalah bagaimana menjalani kehamilan dengan aman, sehat, bahagia pada masa pandemi covid pada saat itu.
Tentunya keruwetan hampir sama yang dialami oleh semua orang pada masa itu. Berbagai tekanan psikis, financial, dan lainnya menjadi tantangan tersendiri yang tentu tidak mudah kita hadapi tanpa saling menguatkan dalam keluarga. Alhamdulillah saya menjalani kehamilan pada usia yang tidak muda lagi yakni usia 40 tahun. Problem kekuatan fisik sudah pasti. Yang saya lakukan adalah beradaptasi dengan kondisi tersebut. Saya akui bahwa hamil di usia “kepala empat” yang orang bilang bukan usia muda lagi memang sangat menantang. Apalagi saya dengan kondisi fisik pada bagian otot perut -jika hamil bentuknya menggantung- bagi orang awam mengatakan ototnya lemah. Kondisi ini membuat saya tidak cukup leluasa bergerak lebih terasa pada hamil anak kelima ini. Apalagi saat usia-usia kehamilan sudah di atas 4 (empat) bulan. Beberapa ketidaknyamanan yang saya rasakan seperti : otot punggung dan perut cepat lelah saat berdiri, tidak mudah mengubah posisi tidur, tidur jadi tidak nyaman dan beberapa keluhan ringan lainnya yang tidak begitu terasa ketika hamil di usia lebih muda. Jadi lebih banyak dipengaruhi pada kekuatan fisik.
Pada pengecekan terakhir oleh dokter, kami menerima saran beliau untuk segera menjadwalkan kelahiran pada usia bayi sekitar 37 minggu. Pertimbangannya adalah berat bayi cukup, perkembangan organ bayi sudah siap lahir, kondisi fisik saya dan melahirkan melalui tindakan operasi sesar sudah kali keempat dapat berpotensi bahaya jika harus menunggu tanda kelahiran secara alami. Alhamdulillah setelah memenuhi prosedur yang super ketat, proses melahirkan anak kelima saya jalani melalui tindakan operasi sesar berjalan lancar, kondisi bayi juga sehat. Karena masih pandemi, hanya kami berdua, saya dan suami tentunya dengan bayi yang diperbolehkan berada di ruang inap perawatan rumah sakit. Kala itu perasaan cemas akan tertular virus covid cukup menghantui, terutama cemas jikalau virus tertular ke bayi. Ikhtiar yang kami lakukan adalah benar-benar menaati prosedur pencegahan tertular virus seketat mungkin.
Periode observasi dan perawatan pasca operasi sesar telah selesai, kami pun pulang ke rumah. Ada hal baru yang harus kami hadapi, yakni seminggu sebelum saya melahirkan suami mendapat SK (Surat Keputusan) Mutasi ke kantor pusat. Saat itu kami tinggal di Pekanbaru sementara kantor pusat berada di Jakarta. Kondisi tersebut menjadi tantangan baru lagi bagi saya setelah tantangan kehamilan di usia tidak muda lagi. Selama kehamilan-kehamilan sebelumnya, setiap melahirkan saya pasti ditemani oleh keluarga : suami, orang tua maupun mertua. Namun saat pandemi keadaan tersebut tidak memungkinkan. Satu pekan pasca melahirkan suami sudah harus efektif bekerja di tempat yang baru, sehingga ia harus tinggal di Jakarta sendiri sambil menunggu waktu yang tepat kami boyongan sekeluarga ikut pindah. Tak ada pilihan selain saya harus adaptasi mengurus sendiri bayi yang masih merah, sambil memandu ketiga anak lainnya sekolah secara online. Dalam kondisi ini saya merasa berjuang sendiri yang akhirnya memicu gejala Baby Blues terjadi. Tanpa terasa saya sering menangis tiba-tiba karena merasa sepi, tiba-tiba timbul perasaan cemas, takut ketika bayi sudah menyusu tapi tetap nangis. Banyak ketakutan, kecemasan lainnya yang menghantui terlebih lagi ketika saya ingat momen kehilangan anak pertama. Setiap suami telepon, saya pasti menangis. Kadang disertai alasan, tapi lebih sering tiba-tiba menangis tanpa alasan. Suami turut cemas melihat kondisi saya seperti itu yang berbeda dengan pasca kelahiran anak-anak sebelumnya. Suami berusaha menguatkan saya dengan mengatakan bahwa saya itu sudah pengalaman karena sudah melewati masa melahirkan dan merawat 4 (empat) anak sebelumnya. Saya yang mengalami langsung juga heran, mengapa hal ini kok bisa terjadi? Disitulah saya mulai berpikir bahwa mungkin inilah yang disebut Baby Blues.
Tidak ingin larut dalam kecemasan maka saya berusaha mendapatkan informasi valid dengan membaca artikel-artikel medis terkait kondisi bayi dan persoalannya. Hal-hal apa yang perlu diperhatikan, bagaimana penanganan pertama jika terjadi suatu hal yang tidak diharapkan. Dengan membaca artikel tersebut kadang membantu mengurangi kecemasan saya tetapi tak jarang justru menambah kecemasan karena dalam artikel juga dituliskan kondisi-kondisi bayi yang fatal. Hal ini malah menambah overthinking yang kerap terjadi pada diri saya. Jadi mom… perlu juga menyaring informasi mana yang ilmiah dan seperlunya saja, serta bermanfaat bagi kesehatan mental diri kita. Tidak berhenti pada langkah ini, saya mencari solusi berikutnya, yakni bercerita atau ngobrol ke sesama ibu yang juga sedang memiliki bayi. Menceritakan perilaku bayi saya yang menjadi sumber kekhawatiran saya. Mereka pun ternyata mengalami hal yang sama bahkan perilaku bayi mereka yang diceritakan jauh lebih mengkhawatirkan dari yang saya alami. Dengan ngobrol seperti ini, saya merasa lebih terbantu dan optimis karena selain mereka menceritakan masalahnya, mereka juga menyampaikan bagaimana mengambil tindakan solusi ketika sang bayi sedang tidak baik-baik saja yang kemudian langkah itu berhasil. Suatu waktu saya juga ngobrol ke seorang teman, ibu muda yang sudah hampir setahun melahirkan. Dari obrolan tersebut saya jadi tahu kalau ternyata ia mengalami depresi berat pasca melahirkan. Tentunya hal ini jauh lebih berat dari yang saya alami. Masyaallah perjuangan si ibu muda beserta suami yang senantiasa saling support sehingga seiring waktu berjalan akhirnya depresi si ibu dapat teratasi dan kini sang anak tumbuh normal dan sehat. Meskipun mengalami mood yang up and down pasca melahirkan, saya tetap punya semangat ingin mengembangkan diri dengan mengikuti sebuah kelas belajar online. Kelas tersebut mengangkat tema bagaimana mengelola Keluarga secara ideal sehingga menjadi sebuah keluarga yang kompak seperti TIM bukan hanya sebagai kerumunan orang. Keputusan ini cukup efektif juga karena mampu membuat pikiran saya tidak berfokus pada hal-hal yang dapat membangkitkan gejala Baby Blues muncul seperti yang saya tuliskan sebelumnya.
Bersyukur sekali untuk urusan domestik saya dibantu seorang asisten rumah tangga (art) pulang pergi. Kebetulan letak rumahnya tidak jauh dari rumah kami. H-1 bulan Ramadhan tahun 2021, saat bayi saya belum berusia 1 (satu) bulan, terjadi musibah yang membuat kami syok. Art sedang dalam perjalan menuju rumah kami untuk bekerja seperti biasa, ia mengalami kecelakaan yang cukup fatal. Ditabrak seorang pengemudi motor yang menyebabkan salah satu tangan dan paha art kami patah, innalillah. Dalam kondisi ini yang terpikirkan pertama adalah tindakan penanganan art untuk segera mendapatkan pertolongan medis. Alhamdulillah atas bantuan mantan staf suami di kantor sebelumnya, sehingga proses bantuan dan perawatan medis art kami sudah dilakukan. Berdasarkan kondisinya perawatan tersebut akan berlangsung hingga beberapa bulan kedepan. Kini yang harus saya persiapkan bagaimana menjalani hari-hari berikutnya. Besok adalah hari pertama puasa dimana tiba-tiba tanpa art, suami maupun keluarga berada jauh dari kami. Izin terbang juga sangat ketat karena masih pandemi. Bersyukur anak-anak sekolah daring setidaknya lebih meminimalkan mobilisasi karena semua dikerjakan didalam rumah. Alhamdulillah anak-anak ternyata cukup paham dengan situasi yang sedang terjadi. Mereka jauh lebih kooperatif. Saya dan anak-anak berbagi tugas domestik menyesuaikan kemampuan anak masing-masing. Anak kami yang sudah SMP sudah dapat diandalkan melakukan aktifitas dapur ketika adik bayi rewel. Sementara kegiatan beres-beres, cuci piring dan jemur kain semua dapat tanggung jawab sesuai kapasitasnya masing-masing. Rutinitas seperti ini kami jalankan hampir sebulan. Begitu banyak hikmah pembelajaran baik bagi kamil dibalik peristiwa yang tidak nyaman ini. Sebelumnya saya sering uring-uringan (baby blues), justru pada kondisi tersebut mental saya jauh lebih kuat. Mungkin karena lebih fokus memikirkan bagaimana mengatasi persoalan perubahan keadaan dari sebelumnya ada art kemudian tanpa support system itu lagi.
Kepada semua ibu yang baru saja melahirkan sedang merasa tidak baik-baik saja, jangan sungkan ceritakan hal itu ke teman atau ahli yang dapat membuat kalian menemukan solusi dan menjalani hidup lebih optimis. Fokus yaah kepada solusi, jangan berlarut dalam masalahnya. SEMANGAAATT KAMU BISA !!!