Kamis, 09 Januari 2025

Aku Sebelum Bersamamu (Wedding Anniversary ke 19) #1

08 Januari 2025, Rabu kemarin menjadi momen special bagi kita. Hari itu adalah tepatnya hari ke 6939, 21 jam aku dan kamu sah bersama. Mendulang memori 26 tahun silam, kala itu aku sebagai mahasiswi semester 3 jurusan teknik elektro Unhas. Aku tidak punya banyak teman, tidak kaya, paras biasa-biasa saja, memiliki IQ juga di level standar, berasal dari kampung, pokoknya tidak ada yang menonjol dari diri aku. Satu-satunya yang kumiliki adalah semangat ingin segera menyelesaikan kuliah biar dapat kerja yang bergaji tinggi 😂. Kurasa ini adalah impian semua anak kuliah.

Semester 3 adalah waktu pertama kali kami mahasiswa(i) mendapat mata kuliah praktikum Laboratorium Mesin-Mesin Listrik. Orang-orang menamainya Lab Bawah, karena posisinya berada di lantai paling bawah. Aku mengikuti praktikum bersama yang lainnya dengan segala dinamikanya. Pada praktikum untuk percobaan mesin listrik, muncul seorang asisten senior bernama Abdul Salam Nganro memandu responsi materi untuk kelompok aku dan beberapa teman seangkatanku. Saat itu perasaanku biasa saja, seperti layaknya menghadapi asisten senior lainnya. Yang terpenting saat itu, saya berpikir sudah lulus respon pintu selanjutnya harus lulus respon tulis (materi). Beban harus lulus ini kadang membuat saya tertekan akhirnya meskipun sudah belajar sungguh-sungguh masih saja ada materi yang terlupa saat ditanya. Sepetinya teman-teman sekelompok aku juga mengalaminya. Boleh jadi kami juga terpengaruh oleh kabar kabur, katanya asisten-asisten lab bawah pada sangar. Hmhmm tapi ternyata benar juga sih, beberapa asisten senior menunjukkan sikap keras terutama kepada praktikan cowok. Untuk asisten satu ini, kami panggil Kak Salam kelihatannya tidak menunjukkan kesan sangar. Ia memandu respon tulis (materi) secara wajar. Menyampaikan materi dan mengajukan pertanyaan sesuai modul praktikum. Tidak ada yang istimewa sehingga harus takut atau sebaliknya. Jadi tak ada hal special untuk mengingat sosoknya selain bahwa ia adalah asisten pada umumnya yang akan kutemui selama melakukan percobaan serta nebgerjakan tugas-tugas modulnya. Yaaah begitulah perasaan aku ke kamu saat itu. Beberapa kali aku melihatmu dan partner skripsi (tugas akhir) kamu beredar di lab bawah, membawa beberapa diktat yang mungkin itu adalah bahan tugas akhirmu. Aku tak pernah ingin mendekati atau pun memulai obrolan, jangankan kepada senior apalagi asisten ke teman saja saya jarang yang memulai obrolan. Yaaaah kusadari aku sangat pemalu dan kuper (kurang pergaulan) kala itu.

Hari-hari berikutnya aku menjalani hidup sebagai anak kuliah. Berbagai mata kuliah praktikum secara beruntun kami jalani. Yang tidak lulus harus ulang, bagi yang sudah lulus harus memogramkan praktikum berikutnya. Kamu sudah jarang terlihat di kampus atau di lab. Mendengar kabar selintas dari obrolan para senior, ternyata kamu sudah wisuda dan mungkin setelah itu sudah bekerja di suatu tempat. Yang jelas aku tidak terhubung ke siapa pun untuk mengetahui kabarmu. Di akhir semester 3 aku beranikan diri mendaftar sebagai calon asisten lab bawah. Saat tes wawancara ternyata kamu ada diantara asisten senior lainnya sebagai asessor calon asisten. Ketika menjalani tes wawancara, rasanya jantung mau copot karena gugup. Aku gugup bukan karena siapa-siap termasuk dirimu tapi gugup karena takut tidak lulus dan tidak percaya diri ketika memberi respon pertanyaan asisten. Dalam batin sudah pasti saya tidak lulus😔. Tapi tak disangka pada lembar pengumuman kelulusan asisten nama aku ada dalam daftar. Jujur sangat tidak percaya jika mengingat performance aku saat tes. Tapi Alhamdulillah saja, mungkin ada pertimbangan mereka sehingga aku lulus. Senangnya bukan main. Aku punya playground baru yang tidak semua orang berani memilihnya. Terima kasih Allah, sudah gerakkan diri ini untuk berani meski tak percaya diri pada mulanya.

Menjalani rutinitas sebagai asisten lab bawah sangat menyenangkan. Banyak hal yang berkembang dari diriku termasuk dalam hal pengetahuan dan yang utama adalah perlahan rasa percaya diri mulai terbangun. Aku menyadari bahwa diriku sudah mulai lebih terbuka, mau membuka obrolan yang dulunya sangat berat aku lakukan. Perubahan ini sangat membantuku melewati masa-masa kuliah terasa lebih santai dan happy. Aku tidak terlalu memusingkan masalah uang yang minim, pakaian itu-itu saja yang kukenakan bahkan baju saya adalah warisan dari mama atau keluarga yang berlebih. Aku juga tidak terlalu mempermasalahkan mata kuliah yang sulit menurut temanku bukan karena mudah, tetapi aku dalam kondisi bersemangat termasuk dalam hal belajar. Sehingga aku jadi lebih mudah mengatasi tantangan yang ada. Yah mungkin hal ini disebabkan aku benar-benar menikmati peranku sebagai asisten lab bawah yang ternyata memberi kegembiraan dan semangat pada diriku. Lab sudah menjadi rumah pertamaku baru kamar kost😍. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di lab ketimbang di rumah. Oh iyah saat itu aku pindah kost ke rumah keluarga yang tidak lagi harus bayar sewa kamar, cukup bayar listrik dan telpon. Hanya saja jarak dari rumah ke kampus lumayan jauh. Kalau aku sudah ke kampus, benar-benar seharian berada di sana. Tak jarang setelah waktu magrib baru pulang ke rumah. Hal ini aku lakukan untuk menuntaskan kegiatan di lab sambil kuliah. Saat musim praktikum, tak terasa waktu berlalu.

Pada semester 7 akhir, aku mulai mengurangi kegiatan di lab. Beberapa asisten baru dari adik angkatan sudah bergabung. Yah, memang setiap tahun ada perekrutan asisten untuk menjaga tetap terjadi regenerasi, karena nantinya asisten senior  satu persatu akan meninggalkan lab seiring sudah menyelesaikan masa studinya. Di semester ini aku mulai mengambil mata kuliah akhir yaitu tugas akhir atau skripsi. Saat itu aku masih bingung akan mengambil judul apa untuk tugas akhir nanti. Seperti yang lainnya tugas akhir biasanya dikerjakan secara pasangan, dan aku sudah punya partner atau teman skripsi. Ditengah kebingungan menentukan judul skripsi, tiba-tiba salah seorang senior memberi saran agar aku menemui kak Salam untuk meminta masukan mengenai judul skripsi yang dapat kami pilih. Ternyata sudah banyak pasangan skripsi lainnya yang telah konsultasi kepadanya untuk tujuan yang sama. Tanpa ragu lagi, kami ke rumah kak Salam untuk menyampaikan niat kami terkait peluang pilihan judul skripsi yang ada. Aku baru tahu juga kalau ternyata ia sudah OJT (On The Job Training) di PLN (Perusahaan Listrik Negara).

Bersambung.....

Rabu, 08 Januari 2025

Family Strategic Planning (FSP) 2025 Part 1

Keren sekali yah istilah ini "Family Strategic Planning". Apa yang Anda bayangkan ketika membaca kalimat ini? Apakah Anda langsung berimajinasi bahwa hal dibaliknya adalah sesuatu yang amaaaat besar dan berat. Yaaah saya pun punya kesan seperti itu terhadap kalimat ini pada mulanya.

Pada tahun 2017 pernah menyusun perencanaan untuk menjadi peta bagi keluarga. Membuat petanya mengikuti petunjuk worksheet dan pemahaman sekadarnya setelah mengikuti webinar dari tokoh pasangan suami istri sebagai praktisi Home Schooling dan FSP. Usia anak-anak saat itu masih SD. Semua item pembahasan dipikirkan sendiri. Yaah berhasil merumuskan petanya dengan rencana-rencan yang kubuat sendiri mulai dari : pemberian nama keluarga, tujuan, kondisi saat itu, golden rules hingga breakdown program setiap anggota keluarga. Peta saya buat secara digital menggunakan sebuah aplikasi desain. Hasilnya memang apik, saya puas sudah berhasil merumuskannya dengan lancar. Namun....peta itu hanya menjadi salah satu karya yang tidak pernah saya  gerakkan atau kenalkan kepada keluarga, terutama kepada suami. Entah mengapa terasa berat untuk menjadikan hal tersebut menjadi obrolan. Ada rasa tidak percaya bahwa konsep seperti ini akan diterima dengan baik oleh keluarga terutama suami. Berarti saat itu saya dan kamu masih berkutat dengan jalan pikirannya masing-masing. Yaah sekarang kami memahami itu adalah proses, yang terpenting diantara kita terutama saya sudah mulai memikirkannya.

Pada tahun ini bersyukur menemukan buku 'Family Strategic Planning" (FSP) yang ditulis oleh Dodik Mariyanto. Kemudian memutuskan membuat review buku tersebut agar pemahaman saya terhadap buku semakin dalam. Semangat ingin menghidupkan peta keluarga yang dulu pernah saya buat akhirnya menyala kembali. Kuputuskan membuat ulang peta itu sesuai kondisi kami saat ini. Tidak sulit untuk membuat peta, yang jadi tantangan adalah bagaimana mengenalkan konsep FSP kepada keluarga.

Langkah pertama yang saya lakukan adalah membagi konten review buku FSP, berharap anak-anak dan suami membacanya sehingga membangun pemahamannya "Apa dan Mengapa penting memikirkan dan melakukan langkah strategis untuk merawat pertumbuhan keluarga?". Pada kesempatan tertentu saya juga melakukan dialog dengan anak, menyampaikan rencana bahwa saat berkumpul dengan ayah nanti (kebetulan kami Long Distance Marriage, karena lokasi kerja suami di luar kota) akan membahas FSP ala keluarga kita. FSP itu apa sih?

Sebelum menceritakan lebih jauh apa yang akan kami rencanakan terkait peta keluarga ini, saya mengajak pembaca mengulik sedikit apa itu "Family Strategic Planning" yang disingkat FSP. Berdasar buku FSP, adalah salah satu pemikiran atau cara bagaimana merawat pertumbuhan keluarga. Penulis buku mengambil analogi jika biduk adalah rumah tangga atau keluarga, bahtera kehidupan adalah samudra, maka perjalanan sebuah keluarga seperti biduk yang sedang mengarungi samudra. Akan ada tantangan seperti angin, badai, gelombang yang akan dihadapi. Nah....bagaimana arah perjalanan keluarga sehingga biduk yang mengarungi samudra dapat berlayar dengan selamat dan mencapai tujuan ingin berlabuh dimana. Seperti layaknya sebuah perusahaan yang mampu mencapai target kinerjanya karena adanya perencanaan dan keterlibatan dari semua pegawainya. Tentu hal ini juga dapat diterapkan dalam keluarga, namun dengan cara rekreatif. Mengapa harus cara rekreatif? Tujuannya adalah agar semua anggota keluarga tidak merasa terbebani ketika baru mulai menjalankannya. Menjadikan ritual pertemuan yang menyenangkan namun diselingi obrolan tentang perjalanan atau pertumbuhan keluarga dari tahun ke tahun. Beberapa hal penting yang dirumuskan dalam FSP antara lain :

1. Nama Keluarga
Memilih nama yang menarik sesuai harapan atau makna yang diinginkan dari nama tersebut. Pada peta ini kami memilih nama keluarga dengan menggunakan Bahasa Bugis. Tujuannya agar setiap anggota keluarga tetap mengingat jati diri atau asal usulnya yaitu berasal dari suku Bugis. Pasompe' Malinrung inilah nama keluarga kami. Secara terminologi Pasompe' artinya perantau, Malinrung artinya gigih, tidak mudah menyerah. Sehingga dapat diartikan bahwa kami adalah keluarga perantau yang tidak mudah menyerah menjalani tantangan dalam hidup.

2. Tujuan
Merumuskan tujuan yang ingin dicapai bersama. Peta ini kami tetapkan periodenya selama 3 tahun, 2025 - 2028. Secara umum target yang ingin dicapai antara lain : pengurangan utang 35%, anak berhasil lulus masuk sekolah atau perguruan tinggi yang diimpikan, kesadaran spiritual berkembang minimal tidak menunda shalat wajib.

3. Kondisi saat ini
Memetakan kekuatan maupun kelemahan personal, ketersediaan sumber daya tangible maupun intangible serta posisi keuangan adalah hal penting menjadi bahasan bersama. Gambaran keadaan sumber daya saat memulai eksekusi rencana menjadi pertimbangan selama menjalankan program masing-masing anggota keluarga yang arahnya menuju tujuan keluarga.

4. Support System
Untuk berlayar mengarungi samudra keluarga tetap membutuhkan bantuan pihak luar atau infrastruktur lainnya, seperti : asisten rumah tangga, guru, mentor, sekolah, lembaga kursus, lingkungan tempat tinggal, keamanan, listrik, operator komunikasi, dan seterusnya. kesemua ini membantu kelancaran serta mempercepat program tercapainya tujuan tiap individu.

5. Bekal
Seperti layaknya pada sebuah perjalanan atau pelayaran, hal yang tidak boleh ketinggalan adalah bekal. Untuk sebuah peta perjalanan keluarga apa saja yang dapat menjadi kudapan atau bekal bagi anggota keluarga? Antara lain : basic skill life, 

6. Golden Rules
Untuk menjaga tetap selaras terutama dalam hal menjaga nilai-nilai moral maka perlu menetapkan kompas tata nilai yang disebut golden rules. Aturan ini juga menjadi sekoci atau alat penyelamat ketika keadaan chaos. Beberapa aturan yang kami rumuskan antara lain : tetap menjalin komunikasi meskipun sedang emosi tinggi (jeda hanya berlaku sementara saja), keputusan yang diambil saat emosi tinggi tidak berlaku, sadar menjalani hidup sehat, saling menghargai, saat temukan jalan buntu kembalikan pada Al Quran & Hadist.

7. Program tiap Anggota Keluarga
Setelah merumuskan item-item sebelumnya, sudah mudah bagi tiap anggota keluarga merumuskan program atau agenda yang akan dijalankan yang bertujuan untuk berkontribusi mendukung tercapainya tujuan bersama. Orang tua tetap melakukan Monitoring & Evaluation untuk menilai kondisi perjalanan apakah masih on track atau off track,  selanjutnya harus melakukan apa jika off track.




bersambung part 2....


Minggu, 05 Januari 2025

Selalu Ada Jalan

Di sebuah bangku taman, Alan dan Hana terlibat dalam pembicaraan serius. Mereka adalah sepasang kekasih yang berniat melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan setelah saling mengenal selama satu tahun. Saat itu Alan telah bekerja di sebuah Perusahaan BUMN sementara Hana bekerja di sebuah Perusahaan Swasta Asing (pangan) di kotanya.

Alan : “Hana….!”

Hana : “Yah, ada apa?”

Alan : “Kalau kita nikah nanti, kamu bersedia berhenti kerja?”

Saat itu Hana diam. Ia sedang memikirkan suasana di tempat kerjanya. Semenjak pergantian atasannya, ia merasa suasana kerja tidak senyaman dan semenarik seperti dulu dengan atasan yang lama. Lalu….

Hana : “Oke, aku bersedia!”

Hana memberi jawaban singkat tanpa mengajukan syarat atau pertanyaan sedikit pun. Tentu Alan sangat senang mendengar jawaban Hana. Kemudian mereka larut dalam pembicaraan tentang keluarga masing-masing hingga saatnya harus pulang. Alan mengantar Hana terlebih dahulu baru ia kembali ke rumah kakaknya. Kebetulan kantor Alan berada di kota yang berbeda. Ketika akhir pekan saja Alan berkunjung ke rumah kakaknya sekaligus mengunjungi Hana.

Kurang lebih 2 tahun masa perkenalan berlangsung, akhirnya Hana dan Alan menikah.  Pada mulanya mereka ingin tinggal di sebuah rumah kontrakan, namun ibu Alan menyarankan untuk tinggal sementara di rumah kakak ipar (kakaknya Alan). Saat itu kondisi kakak ipar dalam keadaan hamil trimester 2. Beliau sangat baik dan ramah kepada Hana. Satu bulan kemudian Hana dan Alan putuskan membeli sebuah rumah yang letaknya tidak jauh dari rumah kakak ipar. Rumah itu masih dalam proses pembangunan yang akan memakan waktu kurang lebih 1 tahun hingga siap huni.

Tak lama dari itu, Hana positif hamil anak pertama. Betapa senang Alan mengetahui hal ini, begitu pun keluarga lainnya. Beberapa bulan berikutnya, Alan mendapat SK mutasi ke kota yang sama dengan Hana. Akhirnya mereka tidak lagi LDM (Long Distance Marriage). Hana masih bekerja sebagai staf Engineering di Perusahaan yang sama sebelum ia nikah.

Menjadi pasangan pengantin baru yang menumpang di rumah keluarga suami tak pernah ada masalah. Kakak ipar dan suaminya sangat baik. Mereka memperlakukan Hana seperti keluarga sendiri. Hanya saja Hana sedikit syok karena tiba-tiba harus hidup dengan keluarga sang suami. Hana berusaha beradaptasi dengan suasana baru itu. Dulu saat masih lajang Hana bisa saja tidur semaunya setelah salat Shubuh ketika libur kerja. Namun sekarang ia harus memaksa dirinya menjadi sosok istri yang tahu diri sedang tinggal dimana. Hana juga berusaha belajar masak dan memahami jenis menu kesukaan keluarga Alan. Yaaah kadang timbul perasaan “duuuh tidak bebas lagi”, namun itu adalah salah satu konsekuensi dari keputusan menikah yang Hana harus jalani.

Kehamilan Hana anak pertama menjadi pengalaman baru baginya. Bersyukur ia tidak mengalami hyperemesis, hanya saja nafsu makan Hana sangat bermasalah. Dikiranya hanya akan berlangsung pada trimester awal saja, ternyata hal itu berlangsung selama kehamilannya. Meskipun demikian Hana tetap masuk kerja seperti biasa. Alan juga menjalani rutinitas pekerjaannya seperti biasa. Hana baru tahu seperti apa pekerjaan suaminya, seorang Pejuang Terang. Saat itu Alan menduduki posisi sebagai supervisor. Sebuah alat komunikasi pada masa itu “Handy Talky” tak pernah jauh dari Alan. Hana sering melihat Alan menggunakan alat tersebut terutama ketika mengontrol pekerjaan staf di lapangan atau sedang monitoring jika terjadi gangguan di saluran penghantar listrik maupun di instalasi lainnya. Hana kadang ikut terbangun malam karena mendengar suara panggilan via alat tersebut. Hal ini  terjadi hampir setiap hari tanpa kenal waktu. Sejujurnya suara tengah malam dari alat itu cukup mengganggu tidurnya. Namun Hana harus terbiasa dengan hal itu.

Singkat cerita, Hana melahirkan anak pertama seorang putri cantik yang diberi nama Asha. Benar-benar sebuah pengalaman baru. Sebanyak berapa pun buku yang sudah dibacanya tentang persalinan dan merawat bayi baru lahir, ternyata dalam praktik tidak semudah yang dituliskan dalam buku itu. Mulai bagaimana cara memandikan, menyusui dituntut kesabaran, kesiapan gizi dan mental sang ibu. Hana menjalani masa-masa itu didukung oleh keluarga terutama kedua orang terkasih : mama dan mama mertua. Sementara Alan, waktunya benar-benar lebih banyak tercurah untuk pekerjaan yang tak bisa terhindarkan. Hana menyadari bahwa suaminya sebagai pejuang terang adalah petugas pelayan publik. Maka cara terbaik mendukung suaminya adalah tidak menuntut banyak akan kehadiran Alan untuk menemaninya setiap saat. Pada saat orang lain libur merayakan hari besar  justru para pejuang ini harus standby bekerja, memastikan keandalan pasokan dan layanan Listrik. Bahkan tidak bebas mengambil jatah cuti semaunya. Hana harus berbesar hati menjalani keadaan ini.

Alhamdulillah rumah Alan dan Hana sudah selesai dibangun dan siap huni. Mereka pun pindah ke rumah barunya. Semua turut senang dengan rezeki yang diberikan Allah SWT, kehadiran putri kecil yang cantik lalu rumah juga selesai dibangun. Hana tak lupa menyampaikan rasa terima kasih kepada keluarga kakak ipar karena sudah berkenan memberi tumpangan selama kurang lebih 1 tahun. Hana banyak melihat dan mendapat pengalaman bagaimana kakak ipar mengelola keluarganya sehingga tetap harmonis. Hana juga mendapat banyak referensi menu masakan yang sesuai selera suaminya yang tidak didapatkannya dari mama Hana sendiri. So punya stok referensi menu bertambah.

Merajut pengalaman baru sebagai keluarga muda yang pertama kali menempati rumah sendiri. Rasanya “Oh beginikah rasanya menikah, punya anak lalu punya rumah?”. Hana terharu bahagia dan bersyukur atas karunia yang didapatkannya. Tepat hari ketiga tinggal di rumah baru, saat tengah malam tiba-tiba si kecil Asha demam tinggi. Mereka tidak memiliki persiapan obat demam untuk bayi. Mereka juga tidak paham, dipikir bahwa bayi masih merah  seperti Asha belum boleh diberi obat kimia selain minum ASI saja. Demam Asha masih berlanjut, akhirnya keesokan hari dibawa ke rumah sakit terdekat. Setelah melakukan pendaftaran di Poli Anak, mereka menunggu giliran. Mereka juga membuat janji dengan seorang Dokter Spesialis Anak (DSA). Merasa penanganan akan lebih bagus jika dengan DSA, akhirnya mereka membatalkan berobat yang di Poli Anak.

Saat menanti kedatangan DSA yang tak kunjung terlihat, tiba-tiba Asha kecil menunjukkan tanda yang tak biasa. Kedua bola mata bergerak ke arah tengah batang hidung. Suami Hana langsung panik, lalu meraih Asha dari gendongan Hana melarikannya ke UGD (Unit Gawat Darurat). Hana hanya mengikuti dari belakang dengan pikiran kosong karena tidak paham apa yang sedang terjadi. Alan memohon pada dokter jaga agar segera tangani Asha dan menelpon DSA. Tak lama DSA yang dinantikan sejak pagi baru muncul menjelang waktu dzuhur. Hana melihat DSA itu meraba bagian ubun-ubun Asha yang terlihat mencekung. Dokter tersebut segera memerintahkan pasang selang oksigen melalui hidung dan cairan infus ke tangan Asha. Terlihat wajah Alan sangat cemas campur sedih, sementara Hana tatapannya kosong dalam pikirannya masih mempertanyakan “apa yang terjadi? Mengapa seperti ini?” Hana bingung tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Baru saja ia susui anaknya, mandikan dan tenangkan karena sering menangis, tiba-tiba terjadi hal demikian. Hana lebih sering terpaku, mengikuti langkah Alan saja tanpa banyak bicara. Akhirnya Asha dipindahkan ke ruang rawat karena ruang UGD harus segera disterilkan setelah pihak RS mendapat kabar bahwa telah terjadi kecelakan pesawat terbang yang berlokasi di perairan di kota itu.

Asha sudah mendapat penangan dan perawatan di ruang rawat inap. Saya juga sudah bisa menyusuinya Kembali. Namun anehnya Asha kecil belum pernah buka mata atau pun menangis. Ia menyusu sambil tutup mata. Kemudian dokter menyampaikan saran, untuk mengetahui penyakit Asha rencana akan melakukan tindakan pengambilan cairan tulang sumsum belakang. Rencananya dilakukan esok hari. Belum terlaksana rencana tersebut, setelah waktu Isya, bayi cantik mungil itu berpulang ke pemiliknya. Rasa sedih yang tak terkira menyeruak di relung hati Hana dan Alan. Air mata tumpah diiringi doa terbaik agar baby Asha menjadi bidadari surga di alam sana. Alan terlihat sangat terpukul dengan peristiwa ini. Masa awal melahirkan hingga Asha sakit, ia lebih sering berada di lapangan karena keadaan sistem Listrik saat itu. Hana lebih banyak ditemani oleh mama dan ibu mertua secara bergantian. Hana sangat paham melihat kesedihan suaminya itu. Bagi mereka kepergian putrinya begitu cepat. Belum sempat Hana benar-benar menikmati nikmatnya bonding saat menyusui, karena pada masa itu Hana masih dalam proses adaptasi sebagai ibu baru. Sesedih bagaimanapun harus tabah dan ikhlas. Ini sudah takdir dari Tuhan. Hana dan Alan berharap akan diberikan pengganti yang lebih baik lagi.

Hari demi hari berlalu, Hana memutuskan segera kembali masuk kerja setelah cuti melahirkan. Tak lama kemudian Alan kembali menerima  SK Mutasi ke Sumatera Barat, Kota Padang. Rasanya kepindahan Alan begitu cepat. Belum cukup sebulan menempati rumah baru dan kepergian putrinya, suami Hana sudah harus pindah lagi ke tempat kerja yang baru. Hana sedikit merasa cemas karena lokasi yang dituju suami sering terjadi gempa bumi. Namun tak ada pilihan selain mengikut sesuai keputusan dari kedinasan suami. Akhirnya mereka kembali menjalin hubungan secara LDM. Suka duka menjalani hidup seperti ini menjadi tantangan baru. Alan harus menempuh perjalanan dua kali naik pesawat untuk bisa bertemu dengan Hana. Biaya tiket pesawat saat itu cukup mahal. Tentunya ini berdampak bagi keuangan mereka yang sedang berusaha menyelesaikan pembayaran rumah baru. Akhirnya mereka sepakat bisa bertemu pas ada perjalanan dinas. Dalam kondisi demikian Hana mengingat permintaan Alan saat sebelum menikah, yang meminta Hana bersedia berhenti kerja kantoran. Tidak mengulur waktu lama lagi, Hana pun mengajukan surat pengunduran dirinya dengan alasan mengikuti suami yang pindah tempat kerja. Pada dasarnya Hana sangat menyukai jenis pekerjaannya, karena masih terkait dengan latar belakang pendidikan Hana yakni lulusan Fakultas Teknis Jurusan Elektro. Jurusan yang sama dengan suaminya Alan hanya berbeda tahun masuk saja.

Alan memboyong Hana terbang ke kota Padang-Sumbar. Sejak saat itu Hana mulai berstatus Full Time Wife. Impian terdekat mereka adalah segera dikaruniai anak kembali. Gayun bersambut 3 bulan kemudian Hana positif hamil. Betapa senang Alan mengetahui kabar ini. Hana berusaha menjaga nutrisi yang masuk kedalam tubuhnya. Peristiwa yang dialami oleh putri pertamanya menjadi pelajaran baginya untuk lebih prepare lagi. Hana membaca banyak buku referensi tentang kehamilan, perawatan bayi dan ibu pasca melahirkan, bagaimana jika bayi sakit dan seterusnya.

Karena alasan sering gempa di Sumbar, Hana dan Alan memutuskan akan melahirkan di kota kelahirannya. Hana pun terbang pulang untuk persiapan lahiran. Pada saat muncul tanda akan melahirkan barulah Alan mengambil cuti dan terbang pulang mendampingi Hana. Seperti persalinan normal pada umumnya Hana melahirkan putra kedua yang sangat menggemaskan. Mereka beri nama baby F. Pasca melahirkan Hana merasa menjadi pencemas. Ia sering dihantui perasaan takut jika peristiwa anak pertamanya terjadi pada baby F. Baby F berusia 6 bulan barulah diboyong ke Padang. Hana melalui hari-harinya merawat baby F dengan ekstra hati-hati, sementara urusan rumah dibantu oleh seorang art harian.

Tepat baby F usia 15 bulan Hana kembali positif hamil. Hana melewati kehamilan kali ini tidak banyak masalah. Mungkin karena sudah punya pengalaman dengan kehamilan anak-anak sebelumnya. Saat kehamilan Hana berusia 3 bulan, selepas waktu Ashar tiba-tiba terjadi gempa besar. Hal pertama yang Hana lakukan saat itu adalah berlari secepat mungkin keluar dari rumah sambil menggendong baby F. Kebetulan Hana ditemani seorang art yang ikut menyusulnya lari keluar rumah. Mereka ikut berkumpul di depan rumah seorang tetangga yang memiliki beberapa lantai. Hal ini Hana putuskan untuk jaga-jaga jikalau terjadi tsunami, bisa langsung evakuasi ke rumah tersebut. Rumah kontrakan Hana saat itu sangat dekat dari Pantai. Warga lokal yang tinggal di sekitar Pantai berhamburan keluar. Mereka turut berkumpul di tempat Hana berada. Terlihat banyak diantaranya yang bertangisan karena cemas, takut jikalau terjadi tsunami seperti peristiwa gempa megathrust di Aceh. Hana melihat air di selokan meluap, membuatnya bertambah cemas apalagi dirinya dalam keadaan hamil muda. Ia memeluk erat baby F yang belum mengerti apa yang sedang terjadi. Selain mencemaskan dirinya, Hana juga terlihat gusar memikirkan bagaimana caranya agar bisa bertemu Alan segera. Saat ini akses dari kantor Alan ke rumah pasti macet berat. Jaringan komunikasi juga shutdown kecuali operator yang menggunakan teknologi fiber optic. Kebetulan Hana menggunakan 2 ponsel berbeda operator, salah satu operator masih bisa digunakan. Melalui saluran inilah Hana mendapat kabar dari teman bahwa gempa yang terjadi itu adalah gempa darat yang tidak berpotensi tsunami. Alhamdulillah ucap Hana, kecemasannya sedikit berkurang dan tidak perlu ikut berdesakan mencari tempat yang tinggi. Jelang waktu Isya Hana baru bertemu dengan suaminya di area terbuka. Alan bercerita ketika di perjalanan pulang tadi ia melihat gedung show room mobil dan tempat les ambruk rata dengan tanah. Mendengar cerita Alan, Hana sudah membayangkan kemungkinan besar banyak yang jatuh korban, tak terkira suasana genting di luar sana terutama di RS-RS dan Gedung-gedung tinggi lainnya. Malam itu mereka berkumpul dengan teman sejawat lainnya bermalam di salah satu rumah teman yang kondisinya lebih aman jika terjadi gempa susulan. Esok hari mereka mengungsi ke rumah salah satu teman sejawat juga karena berada di lokasi tempat evakuasi warga jika terjadi gempa. Sekaligus menjadikan rumah tersebut sebagai posko sementara. Mereka ada 3 keluarga yang berkumpul, termasuk pemilik rumah. Untuk kebutuhan penerangan menggunakan genset karena jaringan listrik padam total. Mereka mengumpulkan dana bersama untuk membeli bahan bakar genset dan juga bahan dapur untuk makan bersama. Para suami sudah mulai bekerja, untuk pengerjaan recovery sistem di berbagai area instalasi. Tentu hal ini bukan pekerjaan yang ringan dan singkat dengan melihat tingkat kerusakan infrastruktur yang terjadi. Tugas ibu-ibu memastikan persediaan konsumsi bapak-bapak tetap ada sehingga mereka cukup fokus pada pekerjaannya. Kerjasama ini sangat berarti terutama dalam situasi darurat seperti saat itu.  Butuh waktu recovery beberapa pekan, bulan agar listrik kembali menyala tapi pasti secara bertahap, terutama di beberapa daerah yang terdampak gempa. Kejadian gempa kali ini menjadi alasan bagi Hana dan Alan jika nanti kondisi sudah normal mereka memutuskan pindah rumah kontrakan ke tempat yang lebih tinggi tapi tidak jauh dari kantor Alan.

Ancaman gempa tak bisa hilang dari benak Hana. Semenjak peristiwa tersebut ia dan Alan tidak berani berlama-lama berada di gedung tinggi seperti mall atau tempat lainnya. Hana lebih memilih belanja atau membawa bermain baby F ke tempat yang lebih aman. Beberapa bulan berikutnya Hana melahirkan adik baby F melalui operasi Caesar. Ia diberi nama baby Z. Alhamdulillah semua dalam keadaan sehat. Mama Hana dan tante datang menemani hingga beberapa bulan. Kesibukan Alan juga semakin bertambah semenjak ia mendapat promosi terlebih lagi kantor Alan yang sekarang menangani pekerjaan operasional. Tak jarang Alan harus dinas ke luar kota hingga beberapa hari. Agenda rapat juga semakin sering. Rutinitas ini menjadi tantangan bagi Hana bagaimana mendampingi anak-anaknya tanpa berharap banyak kehadiran Alan secara fisik. Mama dan tante sudah harus pulang, Hana ditemani seorang art. Sejak Baby F lahir, meskipun ada yang menemani, untuk mengganti popok, menidurkan dan lainnya Hana lakukan sendiri, kecuali ia sedang tidak sehat barulah meminta bantuan. Hana sudah terbiasa dengan ritme tidur malam yang singkat. Yang terpenting baginya ada yang mengerjakan pekerjaan domestik. Art adalah support system paling penting bagi Hana. Beberapa kali Hana terpaksa ganti art, bukan karena diberhentikan melainkan si art jikalau sudah pulang kampung saat libur hari raya pada umumnya tidak balik lagi dengan berbagai alasan. Merawat anak kecil tanpa bantuan art dengan ritme pekerjaan suami yang tidak menentu menjadi battle tersendiri bagi Hana. Ditambah ketika baby Z genap berusia 15 bulan, Hana kembali positif hamil. Hana masih takut menggunakan alat kontrasepsi. Dalam kondisi tersebut ia dan Alan berusaha menemukan art yang dapat meringankan pekerjaan domestik. Hana bisa lebih fokus merawat dan mendidik anak-anaknya sambil menjalani kehamilannya yang ke empat. Meskipun Alan cukup sibuk dengan pekerjaan kantornya, ia menyempatkan diri bermain dengan si kecil terutama saat wiken. Waktu kehadirannya pasti terbatas, hal ini memaksa Hana untuk mengambil peran lebih banyak untuk masalah anak-anak. Ia tidak banyak melakukan aktifitas di luar rumah. Beberapa bulan berlalu anak keempatnya lahir yang diberi nama baby Y, seorang putri mungil. Saat ini ia ditemani 3 anak kecil. Putri sulungnya sudah menjadi bidadari surga insyaa Allah.

Beberapa bulan setelah kelahiran baby Y, Hana dan Alan pindah kontrakan lagi karena rumah yang ditempati ingin dijual oleh pemiliknya. Urusan pindah kontrakan juga bukan perkara ringan. Bersyukur mereka banyak mendapat bantuan tenaga oleh petugas Cleaning Service (CS) dari kantor. Biasanya Hana mengurus barang-barang ringan seperti pakaian, peralatan dapur, selebihnya ditangani oleh Alan dan CS. Akhirnya mereka sudah menempati rumah kontrakan baru. Letaknya cukup dekat dari kantor Alan. Tak lama kemudian Alan mendapat SK Promosi Jabatan menjadi manager di kantor tersebut, artinya tanggung jawab Alan semakin besar dibanding dengan sebelumnya. Sesuai aturan di Perusahaan tersebut istri manajer dalam hal ini Hana secara otomatis menjadi ketua Organisasi Perempuan (PIKK) di kantor tersebut. Peran baru ini menuntut Hana memikirkan bagaimana cara menyelaraskan urusan anak-anak dan komunitas. Pada awal menjabat, Hana mencoba beradaptasi agar aktifitas di PIKK tetap selaras dengan perannya sebagai ibu maupun istri. Tidak berat baginya namun berbeda saja bila dibandingkan ketika Hana masih bergabung dengan Corps Asisten Lab saat kuliah dan ketika ia masih bekerja. Memimpin Ibu-ibu ternyata memiliki tantangan dan kondisi tersendiri. Namun, bagi Hana karena ia juga seorang ibu, maka ia mampu memahami masalah utama apa yang dihadapi oleh seorang ibu. Menyelesaikan tantangannya sebagai diri pribadi, sebagai ibu dan juga istri adalah menjadi bagian referensi bagaimana Hana mengelola PIKK kemudian. Mengajak para ibu untuk tetap berdaya dan tangguh, karena menjadi madrasah utama dan pertama bagi keluarga, bukanlah hal instan. Membutuhkan kesadaran diri untuk terus berkembang agar menjadi fasilitator keluarga yang adaptif dengan perubahan zaman. Selama menjalankan peran sebagai ketua PIKK, Hana berkomitmen menjaga nama baik dan mendukung karir suami. Hana tak jarang melibatkan Alan melalui diskusi terkait strategi pengelolaan PIKK. Hana sadar sebagai istri pejuang terang dituntut mengambil peran paling banyak di rumah, karena untuk mengganti ketidakhadiran langsung para suami yang disebabkan oleh beban kerja yang tidak menentu. Semangat para Ibu, kamu pasti selalu memiliki cara untuk mengatasinya, Insyaa Allah.

Jumat, 03 Januari 2025

Anak Kelima, masih Baby Blues?

Saat ini saya berusia 44 tahun. Telah dikaruniai 5 (lima) orang anak. Qodarullah putri pertama kami telah wafat jelang usianya 2 (dua) bulan yang didahului oleh kondisi medis (sakit). Saya free 6 (enam) bulan kemudian Allah percayakan kembali kepada kami, akhirnya saya mengandung anak kedua yang kemudian lahir dengan selamat, kondisinya sehat dan proses melahirkan secara normal dan lancar. Secara berturut lahir anak kami ketiga, keempat dimana jarak setiap anak hanya terpaut usia 20 (dua puluh) bulan. Pada kelahiran anak keempat inilah kami memutuskan menggunakan alat KB, pertimbangan utamanya adalah masalah kesehatan fisik saya sebagai ibu dan ketahanan diri untuk merawat, mengasuh serta mendidik 3 (tiga) anak sekaligus pada saat itu.

Program KB saya jalani selama 5 (lima) tahun. Nah berjalan di tahun kelima ini muncul gejala tidak nyaman pada area reproduksi sebagai efek penggunaan alat KB tersebut. Akhirnya saya sepakat dengan suami memutuskan tidak lagi menggunakan alat KB melainkan memilih program KB dengan cara alami. Hal ini juga didukung oleh kondisi dan siklus menstruasi saya yang teratur. Kami menyadari bahwa program KB alami yang kami tempuh memiliki peluang gagal dengan kata lain kemungkinan besar tetap bisa hamil. Resiko ini sudah kami pertimbangkan dan harus siap dengan konsekuensinya yaitu harus siap jikalau ALLAH mengamanahkan lagi hadirnya anak. 

Alhamdulillah cara alami yang kami tempuh berjalan efektif selama kurang lebih 4 (empat) tahun. Tepat beberapa pekan berlangsungnya wabah Covid yakni sekitar bulan Mei 2020, saya iseng saja melakukan tes kehamilan menjelang shalat Subuh. Sebelumnya secara fisik saya merasa kurang nyaman tidak seperti biasanya. Setelah tes, ternyata alat tersebut menunjukan hasil positif. Dalam hati saya yakin, “sudah hamil nih!”. Saya terduduk di kursi ruang tamu, lalu menunjukkan hasil alat tes tersebut ke suami dengan wajah syok karena tidak menyangka, kok KB alami sudah berjalan 4 (empat) tahun kenapa kali ini gagal? Mungkin suami juga memiliki perasaan yang sama, tapi beliau lebih realistis. Beliau menyemangati saya dan mengatakan “yaaah konsekwensi ini harus kita terima dengan ikhlas dan sambut bahagia. Bisa jadi ini tanda bahwa Allah menilai kita mampu menambah anak yang kelak menjadi umatNya yang bermanfaat, aamiin!”. Saya setuju dengan pernyataan suami. Pilihannya saya berusaha menghadirkan perasaan dan pikiran positif. Membuang jauh-jauh pikiran negatif seperti perasaan menolak karena tidak ingin memberi dampak kurang baik pada perkembangan anak kami nantinya. Yang menjadi fokus kami adalah bagaimana menjalani kehamilan dengan aman, sehat, bahagia pada masa pandemi covid pada saat itu.

Tentunya keruwetan hampir sama yang dialami oleh semua orang pada masa itu. Berbagai tekanan psikis, financial, dan lainnya menjadi tantangan tersendiri yang tentu tidak mudah kita hadapi tanpa saling menguatkan dalam keluarga. Alhamdulillah saya menjalani kehamilan pada usia yang tidak muda lagi yakni usia 40 tahun. Problem kekuatan fisik sudah pasti. Yang saya lakukan adalah beradaptasi dengan kondisi tersebut. Saya akui bahwa hamil di usia “kepala empat” yang orang bilang bukan usia muda lagi memang sangat menantang. Apalagi saya dengan kondisi fisik pada bagian otot perut -jika hamil bentuknya menggantung- bagi orang awam mengatakan ototnya lemah. Kondisi ini membuat saya tidak cukup leluasa bergerak lebih terasa pada hamil anak kelima ini. Apalagi saat usia-usia kehamilan sudah di atas 4 (empat) bulan. Beberapa ketidaknyamanan yang saya rasakan seperti : otot punggung dan perut cepat lelah saat berdiri, tidak mudah mengubah posisi tidur, tidur jadi tidak nyaman dan beberapa keluhan ringan lainnya yang tidak begitu terasa ketika hamil di usia lebih muda. Jadi lebih banyak dipengaruhi pada kekuatan fisik.

Pada pengecekan terakhir oleh dokter, kami menerima saran beliau untuk segera menjadwalkan  kelahiran pada usia bayi sekitar 37 minggu. Pertimbangannya adalah berat bayi cukup, perkembangan organ bayi sudah siap lahir, kondisi fisik saya dan melahirkan melalui tindakan operasi sesar sudah kali keempat dapat berpotensi bahaya jika harus menunggu tanda kelahiran secara alami. Alhamdulillah setelah memenuhi prosedur yang super ketat, proses melahirkan anak kelima saya jalani melalui tindakan operasi sesar berjalan lancar, kondisi bayi juga sehat. Karena masih pandemi, hanya kami berdua, saya dan suami tentunya dengan bayi yang diperbolehkan berada di ruang inap perawatan rumah sakit. Kala itu perasaan cemas akan tertular virus covid cukup menghantui, terutama cemas jikalau virus tertular ke bayi. Ikhtiar yang kami lakukan adalah benar-benar menaati prosedur pencegahan tertular virus seketat mungkin.

Periode observasi dan perawatan pasca operasi sesar telah selesai, kami pun pulang ke rumah. Ada hal baru yang harus kami hadapi, yakni seminggu sebelum saya melahirkan suami mendapat SK (Surat Keputusan) Mutasi ke kantor pusat. Saat itu kami tinggal di Pekanbaru sementara kantor pusat berada di Jakarta. Kondisi tersebut menjadi tantangan baru lagi bagi saya setelah tantangan kehamilan di usia tidak muda lagi. Selama kehamilan-kehamilan sebelumnya, setiap melahirkan saya pasti ditemani oleh keluarga : suami, orang tua maupun mertua. Namun saat pandemi keadaan tersebut tidak memungkinkan. Satu pekan pasca melahirkan suami sudah harus efektif bekerja di tempat yang baru, sehingga ia harus tinggal di Jakarta sendiri sambil menunggu waktu yang tepat kami boyongan sekeluarga ikut pindah. Tak ada pilihan selain saya harus adaptasi mengurus sendiri bayi yang masih merah, sambil memandu ketiga anak lainnya sekolah secara online. Dalam kondisi ini saya merasa berjuang sendiri yang akhirnya memicu gejala Baby Blues terjadi. Tanpa terasa saya sering menangis tiba-tiba karena merasa sepi, tiba-tiba timbul perasaan cemas, takut ketika bayi sudah menyusu tapi tetap nangis. Banyak ketakutan, kecemasan lainnya yang menghantui terlebih lagi ketika saya ingat momen kehilangan anak pertama. Setiap suami telepon, saya pasti menangis. Kadang disertai alasan, tapi lebih sering tiba-tiba menangis tanpa alasan. Suami turut cemas melihat kondisi saya seperti itu yang berbeda dengan pasca kelahiran anak-anak sebelumnya. Suami berusaha menguatkan saya dengan mengatakan bahwa saya itu sudah pengalaman karena sudah melewati masa melahirkan dan merawat 4 (empat) anak sebelumnya. Saya yang mengalami langsung juga heran, mengapa hal ini kok bisa terjadi? Disitulah saya mulai berpikir bahwa mungkin inilah yang disebut Baby Blues.

Tidak ingin larut dalam kecemasan maka saya berusaha mendapatkan informasi valid dengan membaca artikel-artikel medis terkait kondisi bayi dan persoalannya. Hal-hal apa yang perlu diperhatikan, bagaimana penanganan pertama jika terjadi suatu hal yang tidak diharapkan. Dengan membaca artikel tersebut kadang membantu mengurangi kecemasan saya tetapi tak jarang justru menambah kecemasan karena dalam artikel juga dituliskan kondisi-kondisi bayi yang fatal. Hal ini malah menambah overthinking yang kerap terjadi pada diri saya. Jadi mom… perlu juga menyaring informasi mana yang ilmiah dan seperlunya saja, serta bermanfaat bagi kesehatan mental diri kita. Tidak berhenti pada langkah ini, saya mencari solusi berikutnya, yakni bercerita atau ngobrol ke sesama ibu yang juga sedang memiliki bayi. Menceritakan perilaku bayi saya yang menjadi sumber kekhawatiran saya. Mereka pun ternyata mengalami hal yang sama bahkan perilaku bayi mereka yang diceritakan jauh lebih mengkhawatirkan dari yang saya alami. Dengan ngobrol seperti ini, saya merasa lebih terbantu dan optimis karena selain mereka menceritakan masalahnya, mereka juga menyampaikan bagaimana mengambil tindakan solusi ketika sang bayi sedang tidak baik-baik saja yang kemudian langkah itu berhasil. Suatu waktu saya juga ngobrol ke seorang teman, ibu muda yang sudah hampir setahun melahirkan. Dari obrolan tersebut saya jadi tahu kalau ternyata ia mengalami depresi berat pasca melahirkan. Tentunya hal ini jauh lebih berat dari yang saya alami. Masyaallah perjuangan si ibu muda beserta suami yang senantiasa saling support sehingga seiring waktu berjalan akhirnya depresi si ibu dapat teratasi dan kini sang anak tumbuh normal dan sehat. Meskipun mengalami mood yang up and down pasca melahirkan, saya tetap punya semangat ingin mengembangkan diri dengan mengikuti sebuah kelas belajar online. Kelas tersebut mengangkat tema bagaimana mengelola Keluarga secara ideal sehingga menjadi sebuah keluarga yang kompak seperti TIM bukan hanya sebagai kerumunan orang. Keputusan ini cukup efektif juga karena mampu membuat pikiran saya tidak berfokus pada hal-hal yang dapat membangkitkan gejala Baby Blues muncul seperti yang saya tuliskan sebelumnya.

Bersyukur sekali untuk urusan domestik saya dibantu seorang asisten rumah tangga (art) pulang pergi. Kebetulan letak rumahnya tidak jauh dari rumah kami. H-1 bulan Ramadhan tahun 2021, saat bayi saya belum berusia 1 (satu) bulan, terjadi musibah yang membuat kami syok. Art sedang dalam perjalan menuju rumah kami untuk bekerja seperti biasa, ia mengalami kecelakaan yang cukup fatal. Ditabrak seorang pengemudi motor yang menyebabkan salah satu tangan dan paha art kami patah, innalillah. Dalam kondisi ini yang terpikirkan pertama adalah tindakan penanganan art untuk segera mendapatkan pertolongan medis. Alhamdulillah atas bantuan mantan staf suami di kantor sebelumnya, sehingga proses bantuan dan perawatan medis art kami sudah dilakukan. Berdasarkan kondisinya perawatan tersebut akan berlangsung hingga beberapa bulan kedepan. Kini yang harus saya persiapkan bagaimana menjalani hari-hari berikutnya. Besok adalah hari pertama puasa dimana tiba-tiba tanpa art, suami maupun keluarga berada jauh dari kami. Izin terbang juga sangat ketat karena masih pandemi. Bersyukur anak-anak sekolah daring setidaknya lebih meminimalkan mobilisasi karena semua dikerjakan didalam rumah. Alhamdulillah anak-anak ternyata cukup paham dengan situasi yang sedang terjadi. Mereka jauh lebih kooperatif. Saya dan anak-anak berbagi tugas domestik menyesuaikan kemampuan anak masing-masing. Anak kami yang sudah SMP sudah dapat diandalkan melakukan aktifitas dapur ketika adik bayi rewel. Sementara kegiatan beres-beres, cuci piring dan jemur kain semua dapat tanggung jawab sesuai kapasitasnya masing-masing. Rutinitas seperti ini kami jalankan hampir sebulan. Begitu banyak hikmah pembelajaran baik bagi kamil dibalik peristiwa yang tidak nyaman ini. Sebelumnya saya sering uring-uringan (baby blues), justru pada kondisi tersebut mental saya jauh lebih kuat. Mungkin karena lebih fokus memikirkan bagaimana mengatasi persoalan perubahan keadaan dari sebelumnya ada art kemudian tanpa support system itu lagi.

Kepada semua ibu yang baru saja melahirkan sedang merasa tidak baik-baik saja, jangan sungkan ceritakan hal itu ke teman atau ahli yang dapat membuat kalian menemukan solusi dan menjalani hidup lebih optimis. Fokus yaah kepada solusi, jangan berlarut dalam masalahnya. SEMANGAAATT KAMU BISA !!!

Aku Sebelum Bersamamu (Wedding Anniversary ke 19) #1

08 Januari 2025, Rabu kemarin menjadi momen special bagi kita. Hari itu adalah tepatnya hari ke 6939, 21 jam aku dan kamu sah bersama. Mendu...