My Home Team #2
Sebuah keadaan yang tidak pernah terduga terjadi, saat sedang butuhnya asisten rumah tangga (art) karena baru melahirkan dan masuk bulan suci Ramdhan, ditambah suami berada di kota lain, tiba-tiba kami dirundung musibah atas musibah yang menimpa art kami. Saya yakin Allah telah menetapkan rencanaNya yang pasti baik bagi kami.
Sejak detik itu, ritme aktifitas kami berubah total. Saya maupun anak-anak menyadari dan menerima keadaan bahwa tidak bisa lagi menggantungkan segala urusan domestik kepada art. Urusan tersebut adalah menjadi tanggung jawab kami sepenuhnya, tinggal bagaimana menjalankannya di tengah jadwal sekolah daring anak dan saya yang baru saja melahirkan.
Bagi saya sendiri awalnya terasa berat karena membayangkan bahwa betapa repotnya melakukan bermacam urusan domestik sambil mendampingi anak sekolah dan merawat bayi yang masih merah. Tapi tak ada pilihan selain menghadapi keadaan.
Yang membuat saya bersemangat adalah anak-anak tidak mengeluh atau mengajukan protes sedikit pun ketika saya menyampaikan agar setiap orang melakukan tugas yang saya tawarkan. Tanpa saya nasehati bahwa kita harus kerjasama, mereka sudah paham sendiri keadaan yang sedang terjadi.
Alhamdulillah atas keadaan ini.
Saya sempatkan masak lauk untuk makan sahur pertama. Kami tidak terbiasa membeli lauk jadi seperti yang banyak dijajakan di market place. Sebelum pindah ke tempat yang sekarang, saya belum pernah menggunakan aplikasi gojek, grab maupun aplikasi belanja lainnya. Benar-benar belum paham dan memang tidak mau tahu cara menggunakannya. Saya masih nyaman belanja di warung dengan cara pesan melalui WA, nanti diantarkan barangnya oleh si pemilik warung. Dulu, art yang langsung belanja ke warung seminggu sekali atau setiap bahan dapur sudah habis.
Namun sejak art tak ada lagi, akhirnya merasa butuh menggunakan aplikasi belanja online. Pada saat benar-benar tidak sempat masak atau bahan dapur sudah habis, saya baru melakukan belanja online seperti makanan jadi dan atau makanan beku. Sementara untuk kebutuhan bahan dapur, masih bisa menitipkan ke pemilik warung, hanya saja tidak bisa mengantar cepat karena harus meladeni pembeli terlebih dahulu. Sesekali saya titip belanja sama tetangga ketika mereka pergi ke warung.
Ah selalu ada jalan di tengah keterbatasan.
Setiaph hari, anak-anak sudah inisiatif menjalankan tugasnya seperti: cuci piring, nyapu-pel, jemur kain, masak nasi. Si bungsu karena masih kecil dan sedang puasa, lebih sering mendapat tugas menjaga adik ketika saya masak untuk buka puasa. Yang mulai terpikirkan adalah untuk masak sahur. Alhamdulillah ketika waktunya mau sahur bayi lebih sering tidur nyenyak, sehingga anak-anak bisa menikmati sahur dengan menu yang mereka senangi. Beberapa kali saja ia terbangun, sehingga masak sahur dilanjutkan oleh abang yang paling besar.
Abang kadang mendatangi saya di kamar untuk memastikan apakah saya bisa masak atau harus dengan bantuannya. Terima kasih abang, kamu sudah menunjukkan rasa empati dan bisa kami andalkan di saat sulit seperti waktu itu.
Ritme ini kami jalani hampir selama bulan puasa. Sempat 2 minggu ada yang bantu separuh hari, kemudian ia ijin harus pulang kampung karena ibu mertuanya sakit keras.
Akhirnya masing-masing kembali melakukan tugas dalam rumah serta saling kerjasama.
Jauh sebelum hari lebaran, suami berencana pulang sebelum larangan mudik berlaku, kecuali bagi mereka ada dinas. Di tengah penantian hari dimana suami seharusnya sudha bisa pulang, tiba-tiba beliau memberi kabar bahwa kemungkinan belum bisa pulang karena terkena covid.
Jujur saya langsung syock, sedih dan kecewa "mengapa harus terjadi dalam waktu bersamaan?". Saya bahkan lupa menyakan keadaannya lagi karena merasa ia sudah berjanji akan pulang untuk lebaran bersama, baru boyongan pindah ke tempat yang baru.
Ah lagi-lagi rencana harus berubah.
Tanpa saya sadari, saya marah kepadanya padahal sedang sakit. Ya Allah.....
Saya memang masih mengalami gejala baby blues. Kadang suka menangis tiba-tiba karena merasa berjuang sendiri. Suka muncul rasa cemas yang berlebihan terhadap kondisi bayi, takut jikalau terjadi hal buruk terutama pada malam hari. Pada masa-masa inilah yang paling menyita energi saya.
Namun saat tak ada art, pikiran saya lebih banyak teralihkan ke urusan dalam rumah, apalagi anak-anak sedang puasa, Alhamdulillah gejala baby blues perlahan mulai reda.
Rasa sedih dan kecewa pada keadaan, karena kemungkinan besar kami merayakan idul fitri secara terpisah. Jika menanti masa karantina suami dan hasil pcr harus negatif 2 kali maka ia tidak bisa lagi pulang akibat aturan larangan mudik oleh pemerintah.
Yang membuat semangat adalah anak-anak, terutama abang sulung. Ia bilang ke saya "buat apa sedih, kan bisa video call atau zoom!".
Ternyata anak-anak lebih tegar menjalani situasi ini. Mereka lebih santai, mereka hanya sedih ketika mengetahui bahwa suami terkena covid dan sedang isolasi di rumah sakit.
Alhamdulillah suami tidak mengalami gejala berat. Sempat demam 2 hari, setelah mendapatkan perawatan dan minum obat sudah berangsur pulih. Tidak sampai 5 hari kondisi fisik beliau sudah kembali normal. Namun karena harus menunggu tes pcr setelah 2 minggu sejak dirawat, sehingga beliau tidak bisa langsung pulang ke rumah. Alhamdulillah pada minggu kedua hasil tes pcr negatif sehingga beliau sudah bisa pulang ke rumah. Sesuai aturan di kantor, beliau masih harus karantina dulu. Pada pekan berikutnya hasil tes pcr beliau negatif. Alhamdulillah sudah 2 kali tes hasilnya negatif.
Di hari terakhir puasa, tiba-tiba telpon suami masuk. Saya sudah menyiapkan diri bakal dapat kabar yang mungkin tidak nyaman. Kami sudah pasrah dan ikhlas bahwa lebaran kali ini, kami merayakannya terpisah. Suami di Tangerang sementara kami di Pekanbaru.
Bersambung....
Tangsel 06 Maret 2022
Mom 4F
Komentar
Posting Komentar