Manajemen Keuangan ala Saya #1
Boleh dikatakan saya tidak memiliki bekal ilmu pengaturan keuangan kecuali melihat cara mama saya mengatur keuangan di keluarga ketika masih bersamanya. Uang yang saya miliki tidak pernah berlebih untuk bisa saya gunakan sesukanya seperti makan di tempat mahal apalagi beli pakaian atau barang-barang khas yang dimiliki perempuan. Alhamdulillah sejak dulu kami sudah ditanamkan dengan pola hidup dibawah penghasilan. Tidak perlu gengsi menggunakan barang-barang lungsuran dari saudara atau beli dari pusat tempat jual barang preloved yang biasanya didatangkan dari luar negeri. Harga barang seperti ini sangat murah tapi barangnya masih sangat layak digunakan.
Meskipun demikian terkadang muncul keinginan untuk merasakan kuliner yang sering diiklankan di televisi. Ah pasti rasanya enak. Setelah kuliah, barulah dapat merasakan menu yang diidamkan itu. Inipun karena ditraktir kakak.
Selepas kuliah, Alhamdulillah dapat pekerjaan dan punya gaji, yuhhuuu. Disinilah saya mulai merasa merdeka untuk belanja. Barang pertama yang saya beli setelah punya gaji adalah handphone. Pastinya beli jenis handphone (hp) biasa saja, yang penting fungsinya. HP pertama saya adalah Nokia xxxx, lupa yang tipe berapa. Layarnya masih hitam putih. Tulisannya masih bentuk string. Saat itu sudah banyak hp bagus tapi mahal. Saya memutuskan beli yang sesuai budget yang tanpa menghabiskan seluruh gaji, karena setiap bulan saya mewajibkan diri untuk mengirim ke orangtua di kampung. Mereka sebenarnya tidak minta, bahkan punya gaji pensiun sebagai pns.
Pada masa masih kerja, saya belum terpikir untuk menabung apalagi berinvestasi. Setiap terima gaji, yang terpikir adalah memberi kepada orang tua, saudara yang masih kuliah. Prinsip saya saat itu, biarlah habis toh saya gunakan bukan untuk berfoya-foya.
Hampir 2 tahun saya bekerja di sebuah industri, akhirnya mendapat lamaran dari kakak angkatan yang sekarang menjadi suami saya.
Sebelum menikah, yang beliau tanyakan adalah jumlah gaji saya, berapa besar pengeluaran saya sebulan. Yah, saya jawab apa adanya. Lalu ia tanya, apakah saya bersedia berhenti dari pekerjaan setelah menikah?
Saat itu, tanpa berpikir panjang saya jawab saja iya. Saya yakin dengan dirinya bahwa akan bertanggungjawab atas segala konsekwensi jika saya berhenti dari pekerjaan saat itu.
Setelah kurang lebih 1 tahun bersama, beliau dapat SK mutasi kerja ke pulau Sumatera tepatnya ke Padang.
Saya tidak punya gambaran sama sekali tentang pulau ini kecuali daerahnya rawan gempa. Berhubung kami baru saja kehilangan bayi (wafat) ketika suami mendapat SK, maka tanpa pikir panjang lagi saya ajukan pengunduran diri di tempat kerja. Jadi saya bekerja selama kurang lebih 2 tahun.
Bersambung.....
Tangsel, 28 Maret 2022
Mom 4F
Komentar
Posting Komentar